![]() |
Sumber: Sini |
Jadi, gimana puasa kemaren?
Atau ada yang masih setia tarawih di rumah
aja gara-gara slogan pemerintah #ibadahdirumah?
Terus bagaimana dengan sekarang?
Apa sudah berani untuk melakukan aktivitas di luar rumah?
***
Gw rasa kita semua mahfum dengan arahan
pemerintah yang kompak juga dengan saran Kemenag tentang pelaksanaan ibadah
Ramadan tahun ini di rumah aja, tanpa selebrasi, tanpa pemusatan massa, tanpa
ingar-bingar suara mercon yang menggangu pada saatnya. Namun, ada lho, di
sebuah kampung yang masih di tengah kota, penduduknya masih bersikeras
menggelar salat tarawih berjemaah walaupun mereka mengecilkan volume salon
mereka. Nggak habis pikir lagi apa alasan mereka tetap melaksanakan itu.
Prasangka baik gw sih, mereka mempunyai level keimanan yang berbeda sekaligus
turut meramaikan masjid di bulan yang penuh berkah di mana satu huruf bernilai
sepuluh kebaikan ini.
Tapi, kok ya otak gw masih tidak bisa
menerima hal tersebut. Bukankah dengan begitu justru mereka terlihat penuh
kesombongan, bukan lagi pasrah. Orang lain di tempat yang lain sepakat menutup
masjid mereka bahkan meniadakan takjil yang biasanya ditunggu-tunggu semua
mahasiswa dengan gegap gempita. Bukankah itu sebuah usaha agar semua aman dan
semua sehat? Bukannya dengan ibadah di rumah aja justru menjadi sebuah
kepasrahan? Ada apa dengan orang-orang di kampung tengah kota itu?
Kalau jemaahnya anak-anak muda sih oke, lha
ini hampir setengah jemaahnya orang tua yang you know lah, tidak serta
merta bisa menerima sesuatu yang baru yang belum pernah dilakukan di
tahun-tahun sebelumnya bahwa Ramadan kali ini mereka tidak boleh mengunjungi
masjid. Ke mana anak-anak mudanya? Mengapa tidak mengedukasi orang tua mereka? Atau
jangan-jangan anak-anak mereka sudah mengedukasi, namun mental karena orangta mereka
terkena bias psikologi anchoring? Sehingga tidak mengindahkan saran
anak-anak atau bahkan cucu-cucu mereka supaya tidak menyambangi masjid untuk
sementara waktu.
“Oh, jemaahnya cuman orang kampung ini saja
kok…”
Well, kampung ini jaraknya hanya satu kali
durasi terlama instastory untuk sampai ke jalan besar di mana arus peradaban
bisa masuk kapan saja tanpa saringan. Sudah begitu, tidak ada pula penutupan
jalan seperti yang ramai dilakukan di kampung-kampung lain yang gw rasa lebih
maju secara pemikiran. Lengkap lagi, tidak ada pemeriksaan di pintu masuk
langgar untuk suhu tubuh atau minimal cek sudah memakai masker atau belum yang
notabene penting sekali di era rendahnya level trust sesama manusia
seperti sekarang.
Ke mana Pak RT Pak RW? Nah, mereka bisa
jadi malah ikutan tarwih juga. Atau mereka tidak peduli karena belum ada
inspeksi dari hierarki yang lebih tinggi. Sebenarnya penasaran juga dengan cara
pemilihan RT dan RW selama ini. Apakah mereka dipilih karena memang pendukung
Dukuh atau Lurah yang sama? Mengapa tidak ada door-to-door sosialisasi
tentang strategi pengamanan desa wilayah mereka secara verbal ke setiap rumah
yang menjadi tanggungan pelayanan mereka? Atau minimal di zaman yang serba
medsos ini, mengapa birokrasi di semua lini masyarakat tidak menggunakan interface
yang lebih modern yang bisa diakses hanya dengan mention di Twitter
misalnya atau foto dan tindak setiap laporan foto dengan tagar tertentu di
Instagram? Kalau tidak salah, bupati Jawa Tengah, Pak Ganjar, sudah
melakukannya dan buktinya birokrasi di sana sangat menyenangkan.
Gw seperti berada di zona selemah-lemah
iman, karena ada sesuatu yang terjadi di depan mata dan tidak melakukan
tindakan yang signifikan untuk menghalaunya. Sebenarnya, gw terima-terima saja
dikucilkan dari masyarakat daripada pada suatu hari nanti ada satu jemaah yang
batuk-batuk, akhirnya menjadi positif, dan seperti efek bola salju, semua orang
sekampung ini harus dikarantina wilayah. Nggak bisa kerja, nggak bisa ke
mana-mana hanya karena mengabaikan saran yang sudah didengungkan oleh
pemerintah.
Sayangnya, gw atau mungkin orang-orang muda
di kampung ini tidak punya andil yang besar karena kami sibuk dengan kesibukan
kami masing-masing di luar rumah, di kantor, tanpa pernah berpikir bahwa pada
suatu hari nanti sebenarnya semuanya sudah terlambat.
**
Untungnya, selama pelaksanaan bulan Ramadan, semuanya baik-baik saja. Ini adalah sebuah transformasi mindset. Yang pada awalnya kita merasa takut dan berjiwa sosial sangat tinggi, ternyata yang begitu itu hanyalah ketakutan belaka yang berlebihan.
Komentar