I’m paradoxical.
I like to be happy, but I think about sad things all the time.
I don’t really like myself, but I love the person i have become.
I say I don’t care, but I just care too much, deep into my bones.
I crave attention, yet I reject everything that comes my way.
I healed people, but I broke my own heart trying to fix them.
I love to listen, but I never tell them what’s inside me.
A living contradiction that is what I am.
Kira-kira begitu satu sajak yang kudengar sewaktu kusibuk menggulir-gulir layar ponsel. Sajak tersebut disuarakan oleh seorang pria yang berat nadanya seperti lelah diperkosa oleh hidup yang indah ini.
Yes, segala yang hidup ini diciptakan berpasangan (setidaknya bersistem). Ada malam, ada siang. Ada langit, ada bumi. Pengandaian itu yang diulang-ulang dalam semua kitab suci agar manusia paham tentang dualisme yang ada di muka bumi ini.
Diciptakan berpasangan (dalam sebuah sistem) agar mereka mengerti perannya masing-masing. Agar saling melengkapi. Hitam dan putih. Yin dan yang.
Namun, yang dikatakan dalam sajak di atas sebenarnya bukan dualisme secara alamiah, melainkan dualisme yang diciptakan sendiri oleh kita sendiri. Persona.
Maka dari itu dinamakan paradoks. Kita terlalu sering menjadi orang lain. Menjadi people pleasure, menjadi pahlawan kesiangan. Merasa paling sanggup menanggung beban. Ingin memanifestasi sesuatu, tetapi acapkali meragukan apakah sesuatu itu akan benar-benar terjadi.
Sesungguhnya yang dengan menyadari jika mungkin hidup kita penuh paradoks, akan membuat kita merenung. You matters. Selamatkan dirimu dulu. Kenali dirimu dulu, baru kemudian yang lain akan mengikuti.
.
Pada suatu saat nanti, ketika paradoks itu lenyap, dualisme juga akan menyublim. Tak ada lagi aku. Namun, aku ada di mana-mana. The gateway for the spiritualism realm.
Komentar